Mudik Lebaran (source fispol.com) |
Mudik sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa yaitu "Mulih Dishik" yang artinya pulang dulu dimana kata ini hanya terbit setiap jelang hari lebaran Idul fitri di Indonesia. Arti kata tersebut menyiratkan bahwa pulang ini mungkin tak lama tapi memang sudah waktunya pulang sehingga terasa seperti kewajiban. Seperti yang orang sering bilang, sejauh apapun kita merantau ada saatnya kita pulang kembali ke pangkuan. Pangkuan yang dimaksud tentu saja rumah orang tua, atau rumah orang yang dituakan seperti rumah nenek kakek. Lalu kemana kaki ini melangkah untuk mudik?
Aku tinggal di kota Banjarbaru, Kalimantan selatan. Ibuku berasal dari Kotabaru dimana kota ini berjarak 6 jam perjalanan dari kotaku. Sejak kecil sudah tertanam diotakku bahwa disanalah kami harus berlebaran, karena disana kampung halaman. Kampung halaman Bapakku ada di Pasuruan, Jawa timur dimana kami jarang sekali kesana karena setiap lebaran tiket kesana menjadi mahal. sebagai gantinya tentu saja kami bertandang kesana di bulan-bulan lain selain Lebaran. Jadi wajibnya kalau mudik ya aku ke Kotabaru.
Aku ingat saat SD, saat ekonomi keluargaku masih pas-pasan banget kami sekeluarga mudik naik sepeda motor. Dengan sepeda motor, jarak perjalanan ke Kotabaru bisa mencapai 10-12 jam, apalagi kami mampir-mampir untuk solat dan mengistirahatkan tulang ekor yang penat, aku masih berpikir kenapa kuat sekali aku ketika SD ya. Aku dibonceng ibuku dengan motor bebek, adikku di bonceng bapakku dengan motor trail yang merupakan motor dinas dari kantor bapak. Mudik saat itu seperti benar-benar perjalanan yang dinantikan setahun sekali.
Setibanya disana aku akan bertemu 10 sepupu lainnya dari 3 saudara ibuku. Tidak ada lelah, yang ada hanya bahagia, bahkan seringkali enggan pulang. Kami enggan mudik naik angkutan umum karena nanti disana susah kalau mau jalan-jalan ke tempat wisata atau rumah sanak saudara lain. Ah, rindu sekali dengan suasana mudik kala itu dimana saat itu tidak ada handphone apalagi video call, komunikasi sangat jarang itupun hanya melalui surat pos, anak-anak tidak ada yang bermain gadget jadi fokus bermain saja dengan saudara. Dimana saat itu belum ada sanak saudara yang memiliki mobil, semua naik sepeda motor. Tapi pertemuan dengan sepupu-sepukuku yang setahun sekali ini rasanya luar biasa, apalagi saat itu selain nenek, juga masih ada datu ku, yaitu ibu dari nenekku.
Nenek dan datu akan memasak banyak sekali makanan laut yang kalau di daerahku saat itu harganya mahal. Disana murah karena memang Kotabaru adalah kota nelayan yang kaya hasil laut. Saat itu memang distribusi ikan laut tidak merata seperti saat ini. Entah kenapa, jika diingat mudik saat itu dengan mudik saat ini dimana sudah handphone, semua punya mobil dan jarak antar kota sudah terasa dekat, rasanya sudah jauh berbeda.
Hari Raya Idul Fitri 2021
Dua tahun terakhir, cerita mudik jadi berbeda. Yang aku temui saat lebaran hanya orang tua, adikku dan mertuaku. Hanya circle terdekat yang bisa diajak bercengkrama. Tidak berani bertemu orang lain, takut mencurigai atau kami juga takut dicurigai sebagai biang Covid-19, saling menjaga lebih tepatnya. Tidak ada perjalanan jauh yang sebenarnya sangat mudah di tempuh, bahkan naik pesawat ke Kotabaru pun bisa tiba dalam 30 menit, tidak ada lagi niat itu. Setiap kota yang beritanya telah dilakukan penyekatan, bagi kami tak mengapa. Karena kami tidak mudik, rasanya tetap bahagia tapi hambar. Ada rindu yang sejak tahun lalu dipaksa untuk tidak boleh hadir ketika lebaran. Atas nama cinta pada keluarga, rindu itu haruslah tidak hadir mengganggu, hari raya bukan ajang saling membahayakan satu sama lain. Begitu katanya para tetua di keluargaku. Sehingga sejak terakhir berkumpul, tak ada lagi foto keluarga besar kami.
Mau mengeluh tapi tidak berani, tidak tau diri lebih tepatnya jika masih mengeluh. Aku masih lebih beruntung karena adikku masih tinggal bersama orang tua dan kami dengan mudah berkumpul. Sepupuku ada yang terjebak sendirian di kos-nya di Jakarta tidak bisa pulang, ada yang terjebak di Yaman karena masih menempuh pendidikan, dan ada yang terjebak di kota-kota lainnya karena penyekatan antar kota. Belum lagi beberapa sepupuku yang harus berjaga di RS selaku petugas medis, ada yang harus berjaga arus mudik selaku polisi, dan ada yang harus di perairan sebagai petugas pelabuhan. Meskipun tidak ada Covid-19, rasanya sulit untuk bisa kembali berkumpul seperti dulu lagi, tak akan sama formasi tim-nya. Ya begitulah hidup semua tumbuh dan berkembang dan semua dipaksa untuk saling memahami dengan seluruh tanggung jawab kami di luar sana kita mengerti bahwa tidak berkumpul itu tidak apa-apa karena mudik bukanlah kewajiban.
Ku lirik tetangga-tetanggaku, banyak yang tidak punya sanak saudara disini. Tidak bisa pulang ke Jawa, Sumatra, Sulawesi dan berbagai kota-kota lainnya. Kami bertemu saat solat Ied di musola komplek, saling menatap, bersalaman, ada sedih di hati mereka karena tidak bisa mudik tapi dipaksa tersenyum dan kembali ke rumah masing-masing untuk sungkem lewat videocall saja. Karena biasanya komplekku selalu kosong jika Lebaran tiba, kali ini komplek perumahanku komplit semua penghuninya. Tidak bersyukur kalau aku masih mengeluh, toh aku masih ada orang tua, saudara dan mertua walau hanya sebatas keluarga inti, bukan keluarga besar. Bersyukur saja, itu jauh lebih baik. Satu hal yang paling utama adalah, bersyukur karena masih sehat dan masih bisa berkumpul keluarga inti.
Bayangkan saja ribuan keluarga kehilangan anggota keluarganya selama dua tahun terakhir akibat Covid-19, ribuan keluarga kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan berkumpul selama-lamanya. Aku benar-benar tidak punya alasan mengeluh bukan. Tapi kenapa rasanya masih kurang untuk diungkapkan.
Ketika mudik tidak ada lagi |
Meski sudah panjang kisahku menceritakan kehambaran Idul Fitri di dua tahun terakhir ini, belum sampai ke bagian inti. Aku merasa ada yang kurang, dan ada yang berbeda. Kenapa semua seolah sulit bertemu padahal dulunya, walau badai menghadang pun semua anggota keluarga bisa mensiasati untuk mudik dan berkumpul. Iya, karena satu hal yang membuatnya kurang yaitu kepergian nenekku di Lebaran 3 tahun lalu. Nenek berpulang saat hari raya Idul Fitri 3 tahun lalu, sehingga hari raya dua tahun terakhir membuat semuanya seolah tak punya alasan kuat bertemu. Bukan karena Covid-19 saja, tapi karena nenek tidak ada lagi. Seolah-olah ibu dan saudara-saudaranya kehilangan alasan berkumpul di Kotabaru di rumah peninggalan nenek. Covid dan berbagai tanggung jawab pekerjaan adalah alasan penunjang yang akhirnya memperkuat agar tak mengapa untuk tidak bertamu.
Nini, retno kangen hari raya sama nini, kangen masakan nini yang tiada duanya, kangen diomelin kalo retno salah, kangen dengar nini ketawa ngakak kalo kami becandain, kangen aroma khas badan nini, kangen dihibur nini kalo lagi di marahin bapak ibu, kangen di kasih amplop sama nini yang isinya selalu banyak, retno rindu semuanya yang sulit diceritakan. Al-fatihah....
Lalu pandanganku melayang jauh saat kali terakhir aku ikut memandikan jenazah Nenek. Dingin ku sentuh namun hangat di pipiku, hangatnya masih berasa hingga lebaran tahun ini. Entah kapan suasana berkumpul seluruh keluarga besar itu akan terjadi lagi saat hari raya Idul Fitri. Karena mudik itu tak ada lagi.
Ya Allah Mba No, aku ikutan mrembes ah. Soalnya aku juga merawat orang tua hiks. Semoga kita diberikan kesabaran selalu ya Mbak. Maaf lahir batin ya Mbak
ReplyDeleteManfaatkan kebersamaan selagi bisa ya mbak, karena momen ini akan selalu dirindukan kelak. Maaf lahir batin juga ya mbak
Delete"Covid dan berbagai tanggung jawab pekerjaan adalah alasan penunjang yang akhirnya memperkuat agar tak mengapa untuk tidak bertamu."
ReplyDeleteHiks aku sedih baca ini.
Karena nenek sudah enggak ada, jadi seperti tak ada tempat untuk berkumpul, tempat untuk kembali, gitu ya Mbak. Dan memang biasanya gitu sih. Ketika orang tua yang jadi "jujugan" sudah tiada, ya anak-cucu gak ke sana lagi.
Ya semoga kita tetap bahagia bagaimanapun keadaannya. Mudik memang bukan kewajiban, jadi bisa kumpul-kumpul keluarga besar lagi kapan-kapan. Semoga pandemi lekas berakhir ya, Mbak. Aamiin.
Iyaa betul mbak, kaya udah gak punya tujuan mudik. Aamiin semoga covid segera usai biar semua bisa normal lagi
DeleteIbu kandung dan leluhurku juga udah almarhum, Mba.
ReplyDeleteJadi di desa cuma ada bulek (adek ibuku)
Apapun itu, ya kita ttp kudu bersyukur yahhh diberikan kesehatan dan ttp semangat di pandemic season ini
Biasanya memang gitu ya. Jika yang tertua sudah meninggal, mulai enggan untuk kembali. Mungkin tidak sempat karena banya agenda berkunjung, mungkin juga belum bisa menguasai sedih karena kehilangan yang besar.
ReplyDeleteSemoga tahun depan bisa mudik dan berkumpul bersama. Aamiin
Aku ikutan sedih bacanya, mbak. Semoga akan ada kesempatan untuk kembali berkumpul bersama keluarga besar ya mbak. Walau rasanya pasti tidak akan pernah lagi sama, tapi semoga silahturahmi tetap bisa terus terjaga di momen hari raya nanti. :)
ReplyDeleteSeru banget ya pengalaman waktu kecil, Mbak Ruli. Kalau jaman sekarang, mudik rasa traveling karena motoran, makan makanan laut yang khas dan banyak, serta menghabiskan waktu dengan para saudara lebih puas karena tanpa gadget juga. Btw, kuat bener juga 10-12 jam di jalan, mungkin karena masih anak-anak jadi energinya banyak ya XD
ReplyDeleteKarena kondisi sekarang, suasananya jadi berbeda ya. Biasanya komplek lebaran sepi, sekarang jadi ramai karena sama-sama tak bisa mudik. Yang penting dan utama keluarga terdekat sama-sama sehat-sehat. Mau protes atau mengeluh itu wajar, namun kalau terus-terusan tak akan membawa manfaat juga. Doa-doa terbaik yang bisa menjadi pengharapan agar tahun depan bisa merasakan nikmat berkumpul dan mudik lagi. Semoga suasana lekas cepat membaik di tahun depan ya.
Selamat Idulfitri untuk Mbak Ruli dan keluarga, sehat-sehat selalu juga ya.
iya mbak, sama
ReplyDeletetahun ini Ibu rasa-rasanya gak punya tempat untuk pulang
si Mbah meninggal 3 bulan lalu
rasanya hampa, entah mau pulang ke mana
Turut berduka ya Mbak atas kepergian Nini. Pasti teramat sakit. Apalagi kenangan lebaran bareng Nini begitu banyak dan indah. Semoga kita semua dikuatkan karena covid ini ya.
ReplyDeleteYes, benar kak. tak perlu mengeluh. Semoga kenangan indah terukir selalu di hati. Dan membawa keberkahan bagi kita yang mngingat kebaikan-kebaikannya.
ReplyDeleteSemoga bisa segera berjumpa dengan keluarga ya.
iya terkadang memang harus berhenti mengeluh, harus menerima dan menghadapi hari berikutnya dengan hati yang berbahagia meskipun terkadang rindu juga akan kampung halaman ya mbak.
ReplyDeleteNamun bagaimana lagi, kondisi sedang tidak bisa memungkinkan untuk mudik, dengan adanya pandemi covid yang belum usai. Mudik bisa memnjadi bencana yang tidak terelakkan jika secara tidak sengaja kita membawa virus dari tanah rantau dan menyebarkan menularkannya ke keluarga di kampung halaman.
Jadi ya harus menerima kondisi saat ini, meskipun hati pedih dan sedih, ya mau bagaimana lagi, semua dilakukan demi keselematan semuanya, demi kesehatan keluarga juga.
Selamat Hari Raya mbak
Katanya, mudik itu ada kalau diusahakan
ReplyDeleteMencari segala cara
Bahkan bisa menghalalkan segala cara
Padahal...
Suatu saat pasti ada hikmah di balik tak ada mudik lagi
Kalau mudik nggak ada lagi, jalanan lengang. Masyaa Allah. Beneran bumi ini harusnya bisa refresh deh. Tapi yaaa namanya manusia, ada Aja sikap bebalnya
ReplyDeleteHal yang sama juga saya alami, Mbak. Sejak simbah tidak ada, kesempatan berkumpul dengan keluarga besar jadi tidak ada lagi. Sekarang gak ada lagi acara mudik ke kampung halaman orang tua. Hiks ...
ReplyDeleteKita memang tetap harus bersyukur ya MBak meskipun tak bisa mudik karena pandemi selama 2 tahun ini karena di luar sana banyak yang nggak bisa bertemu lagi dengan yang tercinta karena direnggut oleh pandemi.
ReplyDeletesekarang aku jadi berpikir, aku ga punya foto keluarga ketika kumpul rame rame, kadang kalau ada foto rame rame, malah aku nya yang nggak ada
ReplyDelete2 taun ini nggak ke surabaya sama sekali, lama banget rasanya, habis solat Id cuman video call aja